BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerajaan
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Sebelumnya
kerajaan Demak merupakan keadipatian vazal dari kerajaan Majapahit.
Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1500 hingga tahun
1550 (Soekmono: 1973). Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit
yang telah mendapatkan pengukuhan dari Prabu Brawijaya yang secara resmi
menetap di Demak dan mengganti nama Demak menjadi Bintara.(Muljana:
2005). Raden Patah menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara,
Demak..Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut
islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, ia mendirikan Kerajaan Islam
dengan Demak sebagai pusatnya. Raden patah sebagai adipati Islam di
Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, karena kondisi
Kerajaan Majapahit yang memang dalam kondisi lemah. Bisa dikatakan
munculnya Kerajaan Demak merupakan suatu proses Islamisasi hingga
mencapai bentuk kekuasaan politik. Apalagi munculnya Kerajaan Demak juga
dipercepat dengan melemahnya pusat Kerajaan Majapahit sendiri, akibat
pemberontakan serta perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga
raja-raja.( Poesponegoro: 1984).
Sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, Kerajaan Demak sangat
berperan besar dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan Demak
berkembang sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agama
Islam. Wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara, Tuban, Sedayu
Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Di samping itu,
Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti
Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik yang berkembang menjadi
pelabuhan transito (penghubung).
Namun sayangnya, Kerajaan
Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena
terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Bisa dipastikan
bahwa pada tahun 1546, Kerajaan Demak berakhir. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Pajang merupakan lanjutan
dari Kerajaan Demak, dengan raja pertama sekaligus pendiri dari Kerajaan
Pajang adalah Jaka Tingkir
Materi
2.1 Sejarah Perkembangan Kerajaan DemaK
2.1.1 Letak Geografis Kerajaan Demak
Secara
geografis Kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah, tetapi pada
awal kemunculannya Kerajaan Demak mendapat bantuan dari para bupati
daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut agama
Islam. Wilayah Kerajaan Demak pada awalnya hanya sebuah bawahan Kerajaan
Majapahit, kemudian berkembang hingga mencapai Banten di Barat dan
Pasuruan di Timur. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota
Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata.![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEfEiuqbNFFZv4AGfv0BgqjjPWfRKBgQLulEUAUIO_zyqL6NEGbA4-pHtkuW2gu47zBQHIdMak0ixddWN3Yr7mLG_mvy7ZhPzbZ65wz5ODp8iROaqbF-b6EUG8gb8eqL48E7x9KWguxVbf/s200/images+(24).jpg)
2.1.2 Gambaran Kehidupan Politik Pemerintahan dari Kerajaan Demak
A. Raden Patah (1500-1518)
Raden Patah adalah pendiri dan sultan pertama dari kerajaan Demak yang memerintah tahun 1500-1518 (Muljana: 2005). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra prabu Brawijaya
raja terakhir. Di ceritakan prabu Brawijaya selain kawin dengan Ni
Endang Sasmitapura, juga kawin dengan putri cina dan putri campa. Karena
Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, prabu Brawijaya terpaksa memberikan putri Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang.
Setelah melahirkan Raden Patah, setelah itu putri Cina dinikahi Arya
Damar, dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden
Kusen. Demikianlah Raden Patah dan Raden Kusen adalah saudara sekandung
berlainan bapak.( Muljana: 2005). Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) atau disebut juga prabu Brawijaya V dari selir Cina.
Babad Tanah Jawi
menyebutkan, Raden Patah dan Raden Kusen menolak untuk menuruti
kehendak orang tuanya untuk menggantikan ayahnya sebagai adipati di
Palembang. Mereka lolos dari keraton menuju Jawa dengan menumpang kapal
dagang. Mereka berdua mendarat di Surabaya, lalu menjadi santri pada
Sunan Ngampel.( Muljana: 2005). Raden Patah tetap tinggal di Ngampel
Denta, kemudian dipungut sebagai menantu Sunan Ngampel, dikawinkan
dengan cucu perempuan, anak sulung Nyai Gede Waloka. Raden Kusen
kemudian mengabdi pada prabu Brawijaya di Majapahit. Raden Kusen diangkat menjadi adipati Terung, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah, di situ ia membuka hutan Glagahwangi atau hutan Bintara menjadi sebuah pesantren
dan Raden Patah menjadi ulama di Bintara dan mengajarkan agama Islam
kepada penduduk sekitarnya. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin
maju. Prabu Brawijaya di Majapahit
khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala
itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil
Raden Patah. Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya
merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya.
Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti
nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel),
Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan
kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo atau Bintara ( Muljana: 2005).
Dalam
waktu yang singkat, di bawah kepemimpinan Raden Patah, lebih-lebih oleh
karena jatuhnya Malaka ke tangan portugis dalam tahun 1511, Demak
mencapai puncak kejayaannya. Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak
berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan
pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta
penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa). (
Muljana: 2005 ). Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan
pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra
Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil
alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Raden Patah juga mengadakan
perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin
mengganggu demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati
Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya
gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang
menggantikan ayahnya pada tahun 1518. Dalam bidang dakwah islam dan
pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam
berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan
mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid
Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
. B. Adipati Unus (1518 - 1521)
Pada
tahun 1518 Raden Patah wafat kemudian digantikan putranya yaitu Pati
Unus. Pati Unus terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan
pernah memimpin perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Karena
keberaniannya itulah ia mendapatkan julukan Pangeran Sabrang lor. (
Soekmono: 1973). Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menceritakan
asal-usul dan pengalaman Pate Unus. Dikatakan bahwa nenek Pate Unus
berasal dari Kalimantan Barat Daya. Ia merantau ke Malaka dan kawin
dengan wanita Melayu. Dari perkawinan itu lahir ayah Pate Unus, ayah
Pate Unus kemudian kembali ke Jawa dan menjadi penguasa di Jepara. (
Muljana: 2005 ). Setelah dewasa beliau diambil mantu oleh Raden Patah
yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden
Patah, Adipati Unus resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara
(tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus)
lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering
dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari
banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Tahun
1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis ( Muljana:
2005 ). Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam
tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513
dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk
benteng Portugis di Malaka gagal dan balik kembali ke tanah Jawa.
Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk
membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan
armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang
masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Di tahun 1518 Raden
Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau
berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak
berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus.
Armada
perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat
pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada
perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin
langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi
Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah
kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.Kapal
yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan
perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban
membela sesama Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu
memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Sedangkan
Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat
dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang
utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon
segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut
Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis
dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas
inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri
beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.
C. Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sultan Trenggono adalah Sultan Demak yang ketiga, beliau memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. ( Badrika: 2006 ). Sultan Trenggono
adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu
Asyikah putri Sunan Ampel ( Muljana: 2005 ). Menurut Suma Oriental, ia
dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran
Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda). Sultan Trenggono
memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling
terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu
Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi
istri Sultan Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai
adipati di wilayah Madiun dengan gelar Rangga Jumena.
Sultan
Trenggana Wafat / Mangkat Berita Sultan Trenggono wafat ditemukan dalam
catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto. Pada tahun
1546 Sultan Trenggono menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu
dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan
gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang
yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat
itu ikut serta dalam pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung
Panarukan selama tiga bulan, tapi belum juga dapat merebut kota itu.
Suatu ketika Sultan Trenggono bermusyawarah bersama para adipati untuk
melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10
tahun menjadi pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat
sehingga tidak mendengar perintah Trenggono. Trenggono marah dan
memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggono
memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa
pulang meninggalkan Panarukan.
Sultan
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa
lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau
tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun
(1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan,
kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai
(Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana
meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan
Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
D. Sunan Prawata (1546 – 1549)
Sunan Prawata adalah nama lahirnya (Raden Mukmin) adalah raja keempat Kesultanan Demak,
yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang
ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan
Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Menurut Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya Penangsang, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir.
Sepeninggal Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546, Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta. Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa.
Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih suka
hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan
pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya
saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita
Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk
sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu
daerah bawahan, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.
2.2.3 Gambaran Kehidupan Ekonomi Kerajaan Demak
Seperti
yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak
sangat strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak
berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak
berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia
bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan
demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Dan hal ini juga didukung
oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir
pantai pulau Jawa.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Letak kerajaan Demak yang strategis , sangat membantu Demak sebagai kerajaan Maritim. Lagi pula letaknya yang ada di muara sungai Demak mendorong aktivitas perdagangan cepat berkembang. Di samping dari perdagangan, Demak juga hidup dari agraris. Pertanian di Demak tumbuh dengan baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara. Demak bisa menjual produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Letak kerajaan Demak yang strategis , sangat membantu Demak sebagai kerajaan Maritim. Lagi pula letaknya yang ada di muara sungai Demak mendorong aktivitas perdagangan cepat berkembang. Di samping dari perdagangan, Demak juga hidup dari agraris. Pertanian di Demak tumbuh dengan baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara. Demak bisa menjual produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati.
2.2.4 Gambaran Kehidupan Sosial-Budaya masyarakat pada masa Kerajaan Demak
Berdirinya
kerajaan Demak banyak didorong oleh latar belakang untuk mengembangkan
dakwah Islam. Oleh karena itu tidak heran jika Demak gigih melawan
daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh asing. Berkat dukungan Wali
Songo , Demak berhasil menjadikan diri sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa yang memiliki pengaruh cukup luas. Untuk mendukung dakwah
pengembangan agama Islam, dibangun Masjid Agung Demak sebagai pusatnya. Kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan
budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di
pulau Jawa.
Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar.
Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar.
Para
wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan
kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi raja
Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja/bangsawan
? para wali/ulama dengan rakyat. Hubungan yang erat tersebut, tercipta
melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan di Masjid maupun
Pondok Pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan di antara orang-orang Islam).
Demikian
pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan
peninggalan dari kerajaan Demak. Salah satunya adalah Masjid Demak, di
mana salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang
disebut Soko Tatal. Masjid Demak dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga.
Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga menciptakan
dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai
sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon.
Dilihat
dari arsitekturnya, Masjid Agung Demak seperti yang tampak pada gambar
10 tersebut memperlihatkan adanya wujud akulturasi kebudayaan Indonesia
Hindu dengan kebudayaan Islam.
Salah satu peninggalan berharga kerajaan Demak adalah bangunan Masjid Demak yang terletak di sebelah barat alun-alun Demak. Masjid Agung Demak memiliki ciri khas yakni salah satu tiang utamanya terbuat dari tatal ( potongan kayu), atap tumpang, dan di belakngnya terdapat makam raja-raja Demak.
Salah satu peninggalan berharga kerajaan Demak adalah bangunan Masjid Demak yang terletak di sebelah barat alun-alun Demak. Masjid Agung Demak memiliki ciri khas yakni salah satu tiang utamanya terbuat dari tatal ( potongan kayu), atap tumpang, dan di belakngnya terdapat makam raja-raja Demak.
2.2.5 Faktor – Faktor Penyebab Keruntuhan Kerajaan Demak
Setelah
Sultan Trenggono, terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, antara
Pangeran Seda ing Lepen dan Sunan Prawoto (putra Sultan Trenggana).
Pangeran Sekar Sedo Lepen yang seharusnya menggantikan Sultan Trenggono
dibunuh oleh Sunan Prawoto dengan harapan ia dapat mewarisi tahta
kerajaan. Putra Pangeran Sedo Lepen yang bernama Arya Penangsang dari
Jipang menuntut balas kematian ayahnya dangan membunuh Sunan Prawoto.
Selain Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri (
suami Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto). Pangeran Hadiri dianggap
sebagai penghalang Arya Penangsang untuk menjadi sultan Demak. Setelah
berhasil membunuh Sunan Prawoto dan beberapa pendukungnya. Naiknya Arya
Penangsang ke tahta kerajaan tidak disenangi oleh Pangeran Adiwijoyo
atau Joko Tingkir , menantu Sultan Trenggono. Arya Penangsang dapat
dikalahkan oleh Jako Tingkir yang selanjutnya memindahkan pusat kerajaan
ke Pajang.
Selain
itu, Raden Patah kurang pandai menarik simpati orang – orang pedalaman,
bekas rakyat Kerajaan Majapahit. Raden Patah juga terlalu banyak
menyandarkan kekuataannya kepada masyarakat Tionghoa Islam. Beliau
berkeinginan keras untuk membentuk negara Islam Maritim. Sehingga
mengakibatkan, perhatiannya lebih dicurahkan untuk pembuatan
kapal-kapal di kota-kota pelabuhan demi pembentukan armada yang kuat.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Demak pada tahun 1568.
(Muljana: 2005)
2.2.1 Sejarah Awal berdirinya Kerajaaan Pajang
Pada
abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena
dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat.
Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan
tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak
mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama
Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih
diakui.
Baru
pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di
Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dmana Pajang
dilhat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari
Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah
ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas
kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan
sisa-sisa keramik asal negeri Cina.
Ceritera
mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang
menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan
Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging
dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16.
untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan
Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua
tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak
laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk
akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.
2.2.2 Gambaran Kehidupan Politik Pemerintahan Kerajaan Pajang
A. Jaka Tingkir (
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus.
Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan
meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai
Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi
pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya
adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Di
zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh
pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan
kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih
kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang
ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun
1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Ada
dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya
sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting
dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan
pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan
itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan,
Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili
tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya.
Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya
sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat
menantu Raja Pajang.
B. Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja. Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus
sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya
Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau
mungkin Pangeran Kudus
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram. Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
C. Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara. Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri. Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak. Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang. Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
2.2.3 Gambaran Aspek Sosial Budaya Kerajaan Pajang
Pada
zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang
semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi lumbung beras
pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh
Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat
mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
2.2.4 Gambaran Aspek Ekonomi Kerajaan Pajang
Pada
zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di
Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan
Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak
dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang
mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras
dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran
rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata
air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan
lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga
pertanian di Pajang maju.
Di
zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan
mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu
Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung
beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan
cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.
2.2.5 Faktor Penyebab Keruntuhan Kerajaan Pajang
Sepulang
dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi
persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya
Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus
berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan
Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap
Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586
Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun
pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang
antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa
kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa
berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya
sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang
menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja
pertama bergelar Panembahan Senopati.
2.3.1 Keterkaitan Hubungan Antara Kerajaan Demak dengan Kerajaan Pajang
Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang
didirikan pada tahun 1500 M, oleh Raden Patah yang merupakan keturunan
dari Raja Kertabhumi. Sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan
Demak sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi pada masa itu, apalagi
dengan bantuan para wali sanga yang juga ikut berperan besar dalam masa
kejayaan Kerajaan Demak. Kerajaan Demak mengalami proses pergantian
kepemimpinan selama 4 kali, yakni Raden Patah (1500 – 1518), Adipati
Unus (1518 – 1521), Sultan Trenggana (1521 – 1546), Raden Prawata (1546 –
1549). Namun sayangnya, kerajaan Demak tidak berumur panjang. Setelah
hampir 50 tahun berdiri, kerajaan Demak mengalami keruntuhan yang
diakibatkan oleh beberapa faktor.
Salah satu penyebab faktor runtuhnya Kerajaan Demak adalah adanya
perebutan kekuasaan antara Arya Penagsang dengan Adiwijaya atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir. Ia adalah seorang menantu
Sultan Trenggono yang berkuasa di Pajang ( daerah Boyolali). Di dalam
pertempuran-pertempuran itu Jaka tingkir akhirnya mampu mengalahkan Arya
Penangsang dan memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang pada tahun
1568. ( Muljana: 2005).
Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Kerajaan Pajang
merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak yang didirikan ole Jaka tingkir
yang masih keturunan dari Demak, yang tak lain adalah menantu dari
Sultan Trenggono. Walaupun dalam bukunya Muljana di jelaskan bahwa
Kerajaan Demak telah benar-benar runtuh pada tahun 1546, tapi ketika
Jaka Tingkir telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, ia lalu
memindahkan keraton Demak ke Pajang, dan mendirikan Kerajaan baru yang
disebut dengan Kerajaan Pajang.
Untuk memperbaiki dan mengembangkan blog ini menjadi lebih baik, mari bersama - sama kita bangun, caranya? Apabila kamu menemukan link yang mati/sudah tidak berfungsi atau gambar yang sudah tidak muncul/expire, silahkan hubungi kami disini. Laporan anda sangat berpengaruh pada perkembangan blog ini.Tanks atas perhatiannya
0 comments:
Post a Comment