Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam
di Nusantara (indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja
untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah
kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan
kebudayaan yang bercorak islam di jawa.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini
dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis tanggapan dari para
penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa
Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki
Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima
kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan
dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng
Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun pusat
kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para
penguasa yang menentang kehadirannya.
Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal
dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran
Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya,
ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga,
hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.
Hubungan yang tegang antara sutawijaya
dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan
ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni
hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya
menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia
mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan
ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati
melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan
menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati
menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun
1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan
penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai raja islam yang
baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk
mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan
agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan
kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu
berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak
di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan
pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika
ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari
pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah
jawa.
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam
adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak
adaa pada diri sulta. Seorang sultan atau raja sering digambarkan
memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan
air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada
rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya
adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat.
Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta
perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara,
pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu,
Panembahan senopati terus-menerus memperkuat pengaruh mataram dalam
berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia digantikan oleh
putranya, Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601 – 1613).
Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang
Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma
selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke
puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”.
Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”.
Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram
pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan
penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau
Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung
mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615,
kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat
yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun
berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara
tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba,
Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara
mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun
yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat
dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya.
Untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu
lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622)
dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.
Dengan penaklukan-penaklukan tersebut,
Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun,
1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan
kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram.
Sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk
menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun
1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumengggung
Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk menggempur batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan
Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumengggung Baureksa gugur.
Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang
lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada
1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng
Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya.
Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp.
Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan
pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya,
serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada
tahun 1639.
Di luar peranan politik dan militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan islam
di tanah jawa. Ia adalah pemimpin yang taat beragama, sehingga banyak
memperoleh simpati dari kalangan ulama. Secara teratur, ia pergi ke
masjid, dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat
suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut bagi pria, dan
mengenakan tutup kepala berwarna putih, dinyatakan sebagai syariat yang
harus ditaati.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam
yang mengemban amanat Tuhan di tanah jawa. Oleh sebab itu, struktur
serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan.
Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan
upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan agung juga berprediksi sebagai
pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing.
Adapun kita serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra
Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin.
Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan
negara dapat menjadi harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga
memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah jawi.
Di antara semua karyanya , peran sultan
agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan
agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi
kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan
tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada
tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya
sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu
hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan
perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama
dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting
bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan
sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman
tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya
kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini
masih banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung
pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut,
panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan
gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam
kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri
demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M)
yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang
bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612
m) pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara
keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung,
Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat
penyebaran islam.
Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya, Mataram diperintah oleh putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I (
1646 – 1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram
mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angusr menyempit
karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun
1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian
tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil menguasai keraton
Mataram yang waktu itu teletak di Plered. Amangkurat terlunta-lunta
mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.
Sepeninggal Amangkurat I, Mataram
dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku Buwana di Solo
dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC
untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya.
Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden.
Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden.
Saat ini, keempat pecahan Kesultanan
Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing-masing. Bahkan peran
dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama kesultanan Yogyakarta
masih cukup besar dan diakui masyarakat.
Untuk memperbaiki dan mengembangkan blog ini menjadi lebih baik, mari bersama - sama kita bangun, caranya? Apabila kamu menemukan link yang mati/sudah tidak berfungsi atau gambar yang sudah tidak muncul/expire, silahkan hubungi kami disini. Laporan anda sangat berpengaruh pada perkembangan blog ini.Tanks atas perhatiannya
0 comments:
Post a Comment